Di simpang jalanan itu, beberapa tahun yang lalu sering kali aku bertemu dengan beliau. Saat seragam putih abu-abu masih menempel di badan ini. Ketika pagi menjelang atau siang mulai merayap ke ujung senja, di simpang jalanan itu, beberapa tahun yang lalu namun ternyata hingga kini pun belum berubah. Seorang bapak masih mengayuh becak tuanya sambil diiringi dengan nyanyian-nyanyian kecil di bibirnya.
Mang Usman, seorang lelaki yang kini mulai beranjak senja, namun sisa-sisa tenaganya masih cukup perkasa untuk mengayuh becak tuanya melintasi jalanan desa menembus hingga ke pasar di kota kecamatan sana.
Dulu, sering aku dibawanya ketika kebetulan kami mengarah ke arah yang sama. Sambil berbincang di sepanjang perjalanan ia selalu bertutur tentang pengharapannya bagi kami anak-anak negeri. Ia bilang kalau nanti siapa tahu di antara kami ada yang sudah jadi presiden, mudah-mudahan kami tidak akan melupakan orang-orang yang seperti dirinya katanya. Aku hanya tertawa saat itu.
Tinggal di sebuah rumah mungil bersama dengan satu orang istri dan dua orang anak ternyata tidak menjamin beliau hidup sejahtera, seperti yang didengung-dengungkan pemerintah sedikit anak lebih sejahtera. Setidaknya jika aku lihat dari sudut pandang dan dari sisi ekonomi. Namun, yang aku cukup salut dari beliau adalah kegigihan serta keistikomahannya dalam mengemban tugas sebagai seorang kepala keluarga. Dari pagi hingga hampir penghujung petang beliau masih terus semangat menjemput rezeki.
Dan kini, kerinduan akan suasana itu telah menjadikanku duduk kembali di dalam becak tuanya. Mang Usman menjawab sederhana, ketika kutanyakan apakah tak bosan mengayuh becak dari dulu hingga sekarang?
"Jika ini adalah jalan rezeki untuk keluarga bapak, tentunya tak ada alasan untuk bapak untuk tidak mensyukurinya. Bukankah ini pun akan menjadi pengantar kita jika nanti tak ada lagi kesempatan buat kita hidup di dunia ini, untuk mengantar kita menuju surgaNya?" ujarnya polos. Masih seperti 15 tahun yang lalu.
Aku hanya tersenyum. Seperti pematang kecil yang kini telah menjadi satu jalur utama menuju kampung kami, kiranya begitu pun apa yang dilakukannya hingga kini.
"Apa pun yang bapak lakukan, sepanjang dengan niat tulus dan keikhlasan dalam rangka beribadah kepadaNya, insya Allah ini semua akan menjadi satu jalan menuju ridhaNya. Dengan izin Allah, masih akan ada jalan ke surga bagi hamba-hamba yang selalu memohon ridhaNya," terusnya.
Daun-daun padi di hamparan sawah yang berada di kanan kiri jalanan kini seakan gemulai mengangguk-anggukkan tubuhnya.
Memang selalu benar, bukan dari sekedar hitung-hitungan harta untuk mengukur bahagia seseorang itu. Namun, sejauh mana seseorang bisa mensyukuri apa yang telah diberikan oleh Allah baginya. Maka di sanalah letak kebahagiaan itu sesungguhnya.
Padahal aku tahu, dengan tinggal di sebuah rumah yang lebih mirip dikatakan (maaf) sebuah gubuk kecil beralas tanah, yang terkadang harus berjinjit jika musim hujan telah membawa air-air hujannya masuk ke bagian dalam rumahnya itu, beliau harus mampu berjuang bersama istrinya mengurusi seluruh anggota keluarganya. Belum lagi jika dilihat ternyata semakin hari persaingan pada lahan rizkinya semakin bertambah susah saja. Banyak orang lebih memilih menumpang ojek atau angkot daripada menumpang becak.
Aku kira itu akan meluluhkan semangat beliau. Tapi ternyata tidak. Allah telah menunjukkan kuasaNya, menjamin kehidupan atas umatNya.
Sekali lagi, aku salut kepada beliau. Mang Usman memang bukan seorang sosok yang mampu menyulap negeri ini menjadi sebuah negeri yang makmur dalam satu balikan telapak tangan, namun dari semangat, keikhlasan, serta kesyukurannya telah jauh lebih dari hanya berbuat seperti itu. Ia telah mampu menghadirkan berjuta butiran semangat lagi bagi kami yang terkadang terlalu mudah menyerah ketika satu kesulitan menghadang di depan perjalanan kehidupan kami.
Dari artikel Dikdik Andhika Ramdhan di eramuslim com
0 komentar:
Posting Komentar