Setamat SMU, laki-laki itu tak sempat mengenyam bangku kuliah. Seperti teman-teman lainnya, ia mencoba mengais peruntungan sebagai buruh pabrik di kawasan industri Bogor. Namun, di sana pun ia tak bertahan lama. Ia rupanya bukan sosok yang mudah diatur-atur oleh orang lain.
Cita-citanya jadi seorang jurnalis kandas. Keinginan orang tuanya untuk menjadi seorang pengajar juga tak berhasil. Menjadi buruh migran di negeri jiran juga tak semanis seperti orang lain. Intinya, ia merasa gagal.
Ia kembali ke kampung. Kali ini ia tertarik dengan wiraswasta. Karena tak punya modal uang, ia ragu-ragu. Akhirnya ia berlari ke Jogja. Di sanalah ia berkenalan dengan seorang penjual koran. Dari penjual koran itulah ia diberi wawasan usaha. Dengan selembar KTP, ia mendapat kepercayaan untuk menjajakan koran dari sebuah agen surat kabar dan majalah di Malioboro.
Laki-laki itu menikmati jalan hidupnya. Dalam waktu sebulan ia sudah mempunyai banyak langganan. Ia dapat makan, ia bisa mempunyai pendapatan. Ia makin bersemangat, bahkan ada niat untuk mencoba kuliah.
Ketika langganan sudah semakin banyak, Allah SWT mengujinya. Ia diare berkepanjangan, yang akhirnya ia pulang kampung lagi. Namun kepulangan saat ini berbeda dengan waktu-waktu yang lalu. Kepulangannya sekarang lebih membawa banyak hikmah.
Setelah sembuh, naluri usahanya bangkit lagi. Kali ini dengan selembar KTP lagi dan uang Rp 42.000,- ia mencoba mendekati seorang pedagang kain. Kepercayaan pun berhasil ia bangun. Ia mulai ngedrop barang-barang ke kotanya dari Jogja. Di sebuah tempat wisatalah ia mencoba membangun usahanya kembali.
Awalnya menyewa sebuah tempat, akhirnya tempat itu berhasil ia beli. Usahanya cukup berkembang, bahkan ia bisa membeli satu kios lagi di pasar. Orang setempat mengatakan ia pemuda sukses, karena usahanya lincah dan pandai menangkap peluang.
Krisis ekonomi datang. Ia pun sempat kena dampaknya. Bahkan ia kolaps. Tak bisa bangkit lagi. Ia sempat tak punya apa-apa lagi. Namun perjalanan waktu membuat ia senantiasa bisa bertahan dan survive.
Lagi-lagi hanya bermodalkan kepercayaan, ia mencoba kembali membangun usaha. Jika ia diam dan hanya menunggu-nunggu modal berupa uang, ia hanya akan menjadi manusia tak hidup yang kelihatan gentayangan. Sebab ia bukanlah sosok penerus dinasti bisnisnya Bakrie atau Om Liem.
Ibarat orang berlari, laki-laki itu telah melewati banyak jalan berliku, menanjak dan menurun. Laki-laki itu terengah-engah kelelahan. Tapi impiannya untuk menemukan sebuah mata air yang sejuk terus ia upayakan.
Sekarang tentu ia harus bangkit lagi jika ingin menemukan kesuksesan. Ia tak akan sampai ke tujuan jika ia hanya berhenti di situ. Dengan tenaga yang tersisa ia pun bangkit, dan mulailah ia menapaki kembali perjalannya untuk mencapai yang ia inginkan.
Ia terus berusaha. Ia yakin, Allah pasti menolongnya. Jatuh bangun ia lalui. Kalau dihitung-hitung, malah banyak jatuhnya ketimbang bangkitnya. Tapi ia tidak menyerah.
Rupanya, laki-laki itu telah bermental wirausaha. Kata Renald Kasali, "Seorang wirausaha adalah seseorang yang luar biasa. Otaknya seperti parasut, bekerja karena terbuka. Panjang akal. Selalu menemukan pintu keluar pada setiap dinding kesulitan. Bekerja penuh disiplin. Berkomitmen. Modal utamanya bukanlah uang, tetapi kepercayaan. Ia terbiasa menghadapi penolakan. Tapi ia menolak penolakan itu."
Laki-laki itu sekarang ditawari seseorang untuk mengelola sebuah warung makan di sebuah tempat wisata. Ia pun menerima tawaran baik itu. Lagi-lagi ia dipercaya oleh seseorang untuk mengembangkan sebuah usaha. Lagi-lagi kepercayaanlah yang membuatnya ia selalu bisa bertahan hidup.
Diadaptasi dari artikel Sus Woyo
Di eramuslim.com
0 komentar:
Posting Komentar